Pernyataan Hayu yang juga sebagai Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH-SDA) MUI ini disampaikan saat menjadi pembicara pada pada sesi Paviliun Aksi Iklim Iman COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) pada Jumat dan Sabtu (8-9/12).
Sesi dari rangkaian puncak acara Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP28) ini membahas peran agama dan tempat ibadah dalam transisi menuju energi terbarukan dan menyediakan ruang untuk diskusi antaragama seputar pengelolaan lingkungan.
Menurut Hayu, pelibatan pemuka agama di Indonesia dengan badan legislatif dan eksekutif pemerintah terkait kehutanan agar meningkatkan pemahaman dan advokasi praktik kehutanan berkelanjutan di kalangan umat beragama.
“Setidaknya empat program IRI Indonesia yang mendorong pelibatan tokoh agama mengenai pentingnya menjaga hutan tropis dan perubahan iklim,” jelasnya.
Pertama, mendorong pemahaman mengenai parahnya deforestasi dan kebutuhan mendesak akan hal ini tindakan segera untuk menjaga hutan dan melawan perubahan iklim.
“Kedua, menumbuhkan komunikasi antara ilmuwan dan komunitas agama untuk secara kolaboratif mengidentifikasi langkah-langkah untuk mempertahankan Hutan Hujan Indonesia, dengan mengintegrasikan beragam pengetahuan dan pengalaman mereka,” ujarnya.
Ketiga, melibatkan para pemimpin agama dan jaringan aksi dalam menghadapi daerah-daerah terpencil ancaman terhadap hutan yang parah, memanfaatkan kontribusi unik dari agama untuk meningkatkan implementasi praktis kebijakan kehutanan.
Keempat, memperjuangkan penerapan kebijakan dan undang-undang yang memprioritaskan perlindungan hutan hujan Indonesia dan menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat.
Hayu menyampaikan, kunci dari solusi atas darurat iklim yang mengancam dunia dengan menghentikan perubahan iklim dan mencegah dampak buruknya dapat dilakukan melalui pelestarian hutan tropis, sebuah strategi yang hemat biaya dan penting.
“Penggundulan hutan tropis tidak hanya mengeluarkan karbon namun juga melemahkan kemampuan alam untuk menyerapnya,” imbuhnya.
Meskipun janji dan komitmen global mengakui pentingnya peran hutan tropis, Hayu menilai, deforestasi masih terus terjadi, sehingga memperburuk perubahan iklim dan bukan melakukan mitigasi.
“Tindakan tegas dan terukur sangat penting. Pemerintah dan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mempunyai kewajiban etis untuk memperjuangkan perlindungan hutan,” pungkasnya.
Hayu menambahkan, IRI Indonesia merupakan bukti dari keharusan moral ini, dengan menyatukan agama, komunitas adat, ilmuwan, dan masyarakat Indonesia dalam sebuah koalisi yang menuntut tindakan tegas.
“IRI Indonesia tengah memperkuat kehadirannya di provinsi-provinsi penting yang strategis bagi konservasi hutan dan masyarakat adat, dengan membentuk enam cabang IRI di tingkat provinsi,” tambahnya.
Hutan hujan tropis di Indonesia menyimpan beragam jenis flora dan fauna, hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat keragaman flora fauna yang tinggi di dunia. Mengalahkan Amerika Selatan dan Afrika yang memiliki iklim tropis.
Interfaith Rainforest Initiative (IRI) diluncurkan di Pusat Perdamaian Nobel di Oslo, Norwegia pada 19 Juni 2017.
Peluncuran ini diikuti oleh pertemuan perencanaan dua hari yang dihadiri oleh para pemimpin agama Kristen, Muslim, Yahudi, Budha, Hindu dan Tao dan perwakilan masyarakat adat dari Brasil, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Meso-Amerika dan Peru.
Di tingkat nasional, IRI telah meluncurkan program tingkat negara di Brasil, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, dan Peru – negara-negara yang secara kolektif memiliki 70% dari hutan tropis yang tersisa di dunia.
Program-program negara ini menyatukan pengaruh, jangkauan, dan komitmen organisasi berbasis keyakinan dan pemimpin agama yang paling terkemuka dan mapan di negara ini.(L/R1/P1)